Perbanyak
Amal Untuk Bekal Kita Di Akhirat
Dan Kita
Terselamatkan Dari Siksa Api Neraka
Suatu
saat manusia akan berkumpul di padang mahsyar, dan mereka di bagi sesuai dengan
amal masing-masing. Sebelum tiba masa tersebut, hendaknya seseorang
mempersiapkan bekal yang membantunya menuju jalan yang aman, yaitu dengan Memperbanyak
Shadaqah. Tentang hal ini Allah SWT. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah
(di jalan Allah) sebagian dari rezeki
yang telah kami berikan kepadamu, sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli, dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah,
orang-orang dzalim’’. (QS.Al-Baqarah [2] : 254 ).
Al-allamah
abdurrahman bin nashir as-saadi berkata: Ayat ini menunjukan kelembutan Allah
terhadap para hamba-Nya. Sebab, Allah memerintahkan mereka untuk
mempersembahkan sesuatu yang Allah berikan kepada mereka, berupa shadaqah wajib
(zakat)
dan sunnah, agar hal itu menjadi tabungan dan pahala yang banyak bagi mereka
pada hari orang-orang yang beramal butuh kepada setitik kebaikan. Tidak ada
lagi perniagaan di hari itu. Andai seseorang menebus dengan emas sepenuh bumi
dari siksaan pada hari kiamat maka tidak akan diterima darinya. Tidak akan
bermanfaat baginya seorang kekasih dan sahabat, baik itu karena kedudukannya
atau syafa’atnya. Itulah hari yang merugi dan para pelaku kebathilan di
dalamnya, dan akan terjadi kehinaan bagi orang-orang yang dzalim.
Paradigma Kaya
dan Fakir Bagi Hakekat Manusia
Kadang
muncul pertanyaan, mana yang lebih baik antara fakir dan kaya. Ternyata menjadi
kaya lebih baik, jika kita menyimak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ini dengan sepenuh jiwa.
Kaya
menurut definisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan orang yang
banyak harta. Beliau bersabda:
“Kaya itu bukanlah banyaknya harta. Namun
kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Suatu ketika, Rasulullah mengajari Abu Dzar dengan bertanya terlebih dahulu.
Suatu ketika, Rasulullah mengajari Abu Dzar dengan bertanya terlebih dahulu.
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang
bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya?” Aku (Abu Dzar) menjawab, “Betul.” Beliau bertanya lagi,
“Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” Aku menjawab, “Betul ya Rasulullah.” Lantas
beliau bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati sedangkan
fakir adalah fakirnya hati” (HR. Ibnu Hibban; shahih)
Jadi
menurut Rasulullah, hakikat kaya bukanlah karena banyaknya harta. Melainkan
dilihat dari karakternya yang tidak merasa kekurangan, justru merasa cukup
dengan pemberian Allah dan ringan tangan dalam membantu sesama dengan apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Imam
Al Qurthubi menjelaskan dalam At Tadzkirah, “Pada hakikatnya, orang yang memerlukan itu faqir meskipun ia memiliki
banyak harta. Sedangkan orang yang merasa cukup dengan Tuhannya, dia itulah
orang kaya.”
“Orang banyak harta tetapi hatinya bergantung
pada harta serta rakus terhadapnya, sesungguhnya ia miskin,” lanjut Imam Al
Qurthubi.
Dengan
definisi kaya dari Rasulullah ini, Abu Ali Ad Daqqaq menyimpulkan: “Kaya lebih utama daripada faqir. Karena kaya
adalah sifat Allah sedangkan faqir adalah sifat makhluk.”
Karena
kaya adalah soal karakter, maka setiap orang bisa menjadi kaya tanpa menunggu
memiliki banyak harta. Tinggal mengubah paradigma dan sikap kita; bersyukur
dengan pemberian Allah, tidak bergantung kepada dunia, jangan suka
meminta kepada sesama manusia dan biasakan menjadi dermawan. Tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah.
Wallahu
A’lam Bishawab.
Jika kita selalu mensyukuri apa yang kita miliki, kita telah selangkah
sampai pada kebahagiaan.
Robbigh firli waliwali dayya warhamhuma kama
robbayani shoghiro
“Ya Allah
ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka berdua sebagaiaman
mereka telah mendidikku diwaktu kecil”
sumber: media kajian agama Islam